Sambutan untuk pameran “Sentak” di Museum Affandi, juli 2007
Tersentak karena disentak
Berpameran adalah tindak lanjut berkesenian, bahkan bisa jadi pameran adalah kesenian itu sendiri. Pameran (pertunjukan, pentas, konser dan semacamnya untuk cabang seni pertunjukan atau seni lainnya) bukan sekedar acara memamerkan alias mempertunjukkan suatu karya seni. Ia merupakan medium yang mempertemukan seniman dengan publik. Maka pameran bisa disebut baik apabila sekurangnya memiliki tiga karakter (yang baik pula) sebagaiman berikut dibawah ini;
Pertama, Komunikatif. Sebuah pameran tentu dihasratkan untuk mengatakan, meyampaikan, setidaknya mencoba menginformasikqan sesuatu entah itu gagasan, buah pikiran, kegelisahan, kemarahan atau apalah namanya. Sesuatu akan sampai jika disampaikan denga baik dan benar. Kedua, interaktif. Pameran bukanlah monolog melainkan dialog. Pengertian dialog disini sangat luas. Bisa berarti pameran tersebut dihadiri oleh banyak orang, ditulis dikoran, karyanya terjual dan sebagainya. Pendeknya sebuah pameran adalah ruang ruang interaksi antara seniman dengan pihak lain. Yang terakhir, Evaluatif alias bersifat dapat dinilai. Penilaian sebuah pameran harus berdasarkan parameter yang jelas. Jika ingin menilaidari sisi kualitas karya, maka ukuran yang kita pakai adalah artistic. Bila menakar konteks karya dengan dinamika masyarakatnya, parameternya adalah ilmu social. Kalau mau membeli karya tersebut, gunakanlah prinsip dan ilmu ekonomi. Begitu seterusnya.
Yang sedang anda saksikan kali ini, menurut saya adalah pameran yang baik. Bukan karena ia bagian dari acara Peringatan seratus affandi – pameran ini adalah satu dari beberapa rangkaian kegiatan bertajuk “Homage to Affandi”—semata, namun harus diakui materi pameran “Sentak” ini sangat menyegarkan. Bahkan sentakan yang mereka lakukan, cara mereka menyentak membuat kita tersentak…ya oleh karena disentak itu tadi. Pokoknya Sentak banget deh.
Betapa tidak? Kelompok ini berani dan masih saja mau-maunya membuat karya seni yang relative rumit serta menghabiskan banyak waktu pada jaman serba instant ini. Salah satu premis budaya kontemporer adalah ‘anything goes’ yang artinya apapun boleh, sementara mereka mengamalkan ‘anything done’ –semoga tidak salah terjemah- maksudnya semua dikerjakan dengan benar satu demi satu !
Saya takut menulis terlalu berlebihan, seba tulisan ini hanyalah sepatah kata sambutan bukan pertanggungjawaban kuratorial atau semacamnya. Selamat berpameran dan juga selamat menikmati sentakan demi sentakan.
Yogyakarta, 3 juli 2007
Yuswantoro Adi